Dia... Lelakiku
Never mind, you're here anyway. Have some of my cookies, dear?

Rabu, 04 Februari 2009

Act #16




"Kamu gimana kabar? Makin jarang keliatan aja."
Siang itu, cafe tempatku magang masih sepi. Hanya satu-dua pengunjung, termasuk Chris. Membuatku bisa leluasa duduk bersamanya, dan mengobrol melewati hari yang membosankan.

Aku tersenyum, "Biasa aja."

Dia menatapku dengan tatapan judes khasnya.

"What?" Balasku.

"Ada yang mau diceritain ga?"
Keningku mengernyit. "Ga ada."
"Pacarmu?"
"Siapa?"
"Tomi."

Dan aku menatapnya dengan heran. Dari mana dia tahu? Aku belum cerita apa-apa.

"Oops," Chris bergumam.
Giliran aku yang menatapnya dengan penuh selidik.
"How do you know?"
"Ya.." dia tampak serba salah, "Karena.."

Dan kesadaran itu mendadak menyala di benakku. "Kamu yang ngasih nomer gue ke dia?"
"He-eh."

Aku masih menatapnya.

"Rei, supervisor kamu manggil tuh."
Kulirik sebentar. Aku tengah dipelototi manusia reseh satu itu. Bukan salahnya juga sih, ada dua-tiga tamu yang datang.

"We're not finished," kataku padanya.

Dia mengangkat bahunya. Lalu tersenyum nakal.
posted by Reis's at 23.26 0 comments

Act #15




Pagi menjelang. Harapanku tak terkabul. Aku terbangun. Jam biologis, mungkin, karena alarm tak berbunyi. Atau tak kudengar?

Aku masih berada di pelukan Tomi. Ia masih terlelap. Pulas seperti bayi. Lengkap dengan senyuman polosnya. Hatiku bertanya-tanya, sudah berapa lama sejak ia terakhir kali memeluk seseorang? Lalu aku teringat lagi. Pada Heri..sedang apa dia sekarang? Sudahkah ada seseorang yang membawanya menerobos hujan masa lalunya?

"Hai..sedang apa?"
Aku tersentak. Tomi sudah bangun rupanya.
Aku tersenyum padanya.
"Sini..."
Kami berciuman. Lama.

Dan semuanya terjadi begitu cepat.

Lidah yang berpagut.
Tubuh yang berpeluk.
Bibir yang menelusuri lekuk-lekuk tubuh..

Tomi menyingkap selimut, menyibak dua tubuh yang telanjang. Matanya liar menjelajahi ragaku. Lidahnya, sama liarnya, menciumiku dadaku, putingku, pusarku, semuanya.. seperti menandai semua itu adalah miliknya.

Aku mendesah.
Aku menggelinjang.
Aku mengerang.
Aku mengeras.
Aku basah....

Lalu ia menindihku. Dan di dalam bola matanya yang bening, aku mendapati diriku...
Ia menciumi bibirku. Pipiku. Dahiku. Hidungku. Dan cupingku.

Ia begitu dekat. Begitu intim. Aku bisa mendengar desah napasnya. Debar jantungnya. Aku bisa membaui kelelakiannya.

Kutelusuri selangkangannya. Kutelusuri pahanya. Lalu pusarnya. Lalu kejantanannya.....

Merah. Merekah. Tegak.

Detik berlalu. Nafas memburu. Nafsu membuncah.
Ia mengangkat tubuhku. Memasang pengaman. Lubrikat. Dan sebentar kemudian, kurasakan bagian dirinya memasuki diriku...

*

Di bawah kucuran shower, aku memenjamkan mata. Berharap dengan begitu, akan ada kesunyian yang meredakan gejolak di dalam hati.

Gejolak yang akhir-akhir ini selalu muncul. Gejolak yang meneriakkan pemberontakan. Gejolak yang membebani... Berdosakah aku? Salahkah aku?


Aku kangen pada ruang kecil yang hening, yang muncul setiap kali nafsu itu memuncak dan bertransformasi menjadi sperma...

*

posted by Reis's at 23.20 1 comments

Act #14




Malam ini, seminggu sudah aku menghabiskan malam-malamku bersamanya. Di pelukannya. Di belaiannya. Rasanya nyaman, dan membuncahkan semburat merah di wajahku.

"Terima kasih.."
Tomi berbisik. Lirih.

"Untuk apa?" Aku menengadah sedikit, mencari-cari wajahnya. Lalu mata kami beradu. Ia tersenyum. Aku membalas senyumannya.

"Menerima aku dalam hidupmu..."
Aku tersenyum lagi. Mengingat lagi kali pertama, 3 hari yang lalu, ia memintaku menjadi kekasihnya. Ia yang begitu canggung dan gugup waktu itu. Dan jawabanku segera mengubah semua itu menjadi luapan kegembiraan yang sederhana; sebuah senyum yang paling indah, yang pernah kulihat mengembang di bibirnya. Perlukah terima kasih untuk sesuatu yang seperti ini?

Malam kian larut. Kian sepi. Hanya suara motor yang lewat sesekali, membelah keheningan.
Di bawah selimut, kami saling berpelukan. Meski telanjang, tak terasa dingin sama sekali. Yang ada hanya hangat. Hangat yang membelai, dan memabukkan. Kukecup dadanya yang bidang. Alangkah nyamannya, bila pagi tak perlu datang... bisa selamanya seperti ini...
posted by Reis's at 23.13 0 comments

Act #13





Rata PenuhSamar-samar, kurasakan ada telapak tangan yang dingin, membelai pipiku. Membelai dahiku. Dan mengusap punggungku.

Pelan-pelan, kubuka mata.
'Hai,' suara itu menyapa. Masih berat. Bas. Dan tentu saja, seksi.
'Hai..' kuusap mata. Kesadaran masih belum sepenuhnya berkumpul, tatkala Tomi membungkukkan wajahnya dan menciumku. Tepat di bibir. Hanya sebentar. Hanya bibir yang bertemu bibir. Tak ada yang lebih. Tapi sanggup menyeret semua kesadaranku yang bertebaran entah ke mana, kembali berkumpul di ragaku. Di jiwaku. Seperti sengatan listrik, yang hanya menyentil jantung, sedikit. Listriknya lalu mengirim sinyal-sinyal ke seluruh tubuh.

'Sudah pagi ya?'
'Ya..'


Aku menggeliat. Untuk sesaat, mata kami saling bertemu. Untuk sesaat, kami saling bertatapan. Untuk sesaat, dunia serasa tak berarti. Untuk sesaat, aku membiarkan diriku tersesat ke dalam bola mata itu.

Tapi, mungkin untuk seterusnya, kutemukan percik itu di matanya..
Cinta..
posted by Reis's at 23.09 0 comments

Act #12





Tapi.. meski mataku tertutup rapat, telingaku masih bisa menangkap jelas suara-suaranya. Desahannya. Erangannya. Meski suaranya tak begitu jelas, tapi begitu terburu. Begitu menghentak. Begitu menderu, dan membuat jantungku berdegup demikian kencang.

Hidungku pelan-pelan menciumi bau kelelakiannya. Bau peluh yang bercampur dengan feromon. Meski samar, baunya begitu cepat memenuhi kamar kecil itu. Begitu memabukkan.

Lalu, ia mengerang. Panjang. Setelahnya, sepi. Hidungku membaui bau yang kukenal setiap kali nafsu itu membuncah di dadaku. Telingaku berusaha mencuri-curi dengar. Tapi tetap tak terdengar apa-apa. Nafsu itu, erangan itu, desah napas itu, hormon-hormon itu, semuanya seolah ikut lenyap ke dalam pekat malam.

Suara tisu. Sesekali. Suara celana.
.
.
.
Lalu kembali hening. Detik jam.
.
.
.
Aku terjaga. Tak bisa tidur. Tubuhku terasa panas sekali.
.
.
.
Aku bangkit. Beranjak ke kamar mandi.
posted by Reis's at 22.53 0 comments

Act #11




Aku tertegun sejenak begitu memasuki kamar Tomi. Jauh dari bayanganku akan kesan kumuh seperti yang ia ceritakan. Kamar itu cukup luas untuk dua orang. Rapi dan bersih. Sebuah televisi 15' terdiam di sudut ruangan, dilengkapi dengan DVD player ala kadarnya. Ranjang double-bed ditutupi sprei bersih dan selimut, lengkap dengan sepasang bantal-guling.

'Kenapa?' Tomi bertanya setelah sekian lama aku hanya berdiri mematung di depan pintu.
Aku tersentak lagi. 'Oh, ga koq.'
'Ga seperti harapanmu?' ia tersenyum.
'Ga juga. Rapi, koq. Nyaman.'
'Ya udah, bentar ya, aku ke kamar mandi dulu,' sahutnya sambil menyalakan televisi, 'Kamu nonton aja dulu.'

Aku duduk di tepi ranjang Tomi, tak berani lebih jauh lagi. Takut membuat kusut ranjang besar itu.
Televisi sedang menayangkan acara lawak malam. Sudah lama aku tak pernah menontoni kotak berwarna itu.

'Lho, koq duduknya di pinggir begitu?' Tomi sudah kembali dari kamar mandi rupanya.
'Eh, gak apa-apa koq..'
'Ayo, jangan malu-malu, sini, bareng aku..' ia mengajakku beranjak ke ujung yang satunya lagi.
Aku bangkit, dan menuju sampingnya.
'Sini, dipeluk..'
Aku menurut saja. Masih polos. Entah suara televisi yang cukup besar, entah pikiranku yang terfokus pada acara TV, entah memang diriku yang terlampau polos, tak kudengar nafasnya yang memburu. Tak kuperhatikan tatapan matanya yang begitu sarat...nafsu....

Detik terus berlalu..
.
.
.
'Rei..?'
Aku menoleh. Menatapnya sejenak. Masih belum mengerti sesuatu yang tidak beres.
Dia diam saja. Lalu menunduk, menciumi dahiku. Lalu beranjak ke bibirku.............
Aku mencoba mengelak.
'Tom..'
Dia mulai menggerayangi tubuhku.
Jantungku berdebar tak karuan.
Paru-paruku rasanya sesak.

'Jangan, Tom...' aku mengelak lagi. Aku bangkit, menuju kamar mandi. Lalu membasuh mukaku berkali-kali.

Saat aku kembali, ia sudah berdiri tegak.
'Rei... Kamu...marah?'
Aku menggeleng. 'Aku pulang saja, Tom. Maaf.'
'Rei.. apa yang salah? Aku ga pantas untukmu?'
Aku menggeleng lagi. 'Entahlah. Aku tak bisa yang begituan tadi.'
Ia menghela napas. 'Ya sudah. Kamu jangan pulang, ya? AKu janji, ga akan terjadi apa-apa.'
'Yakin? Kamu yakin?'
'Swear!' Ia mengacungkan kedua jarinya.

*

Tengah malam, aku terbangun. Mungkin karena suasana baru. Mungkin karena aku belum terbiasa. Mungkin karena suara-suara yang kudengar.

Kubuka mataku sedikit. Tomi di samping. Suara-suara itu, suara desah napasnya. Ia bertelanjang dada. Ia..bugil. Dan sedang melakukan sesuatu dengan kejantanannya. Aku terkesiap.

Kupenjamkan mataku erat-erat lagi.
posted by Reis's at 22.46 0 comments

Act #10




Lalu, siang itu, siang yang cerah, sedikit terik, ponselku berdering. Yah, masih berdering, karena ponsel tipe murah.

'Halo?'
'Halo, ini Rei ya?'
'Iya, dengan siapa saya bicara ya?'
'Hai, Rei. Gue Tomi. Boleh kenalan ga?'
'Tomi siapa ya?' dengan lugunya aku bertanya.
'Namaku Tomi. Aku tinggal di Surabaya. Kamu agak di pinggiran kota, kan? Umurku 26, tinggi 175, dan berat 63.'
'Eh..iya..mm..'
'Gimana kalo kita ketemu?'
'Mmm..' aku bimbang. Mana ada waktu untuk ketemuan? Mana ada waktu untuk yang beginian? Tapi ada rasa penasaran yang meledak-ledak di jantungku. Ada adrenalin yang terus memacu detak jantungku.
'Kapan..di mana?' akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutku.
'Terserah. Hari ini mau? Di TP, mungkin?'
'Oke. Ntar kontak-kontakan aja ya..'
'Oke. See ya.'
'See ya.'
Klik! Suara telepon diputus. Kutatap ponselku lama-lama. Masih mencerna apa yang telah terjadi. Gila! Aku sedang apa sih tadi? Mendadak, rasanya wajahku memerah. Debar jantungku masih belum mau berhenti juga. Tapi..whatever happens, happens.

*

Kami janjian bertemu jam 4 siang; kebetulan hari ini memang aku tidak punya shift kerja di cafe. Aku tiba di TP jam 3, sejam lebih cepat. Dengan debar jantung yang serasa kian cepat setiap detiknya. Dengan rasa senewen yang kian membuncah. Dengan rasa gugup yang begitu membunuh.

Enam puluh menit yang terasa selamanya itu kemudian berakhir, begitu ponselku berdering dan kulihat namanya di layar. Detik ketika kuangkat, sambungan langsung diputuskan. Begitu seterusnya, dua atau tiga kali.

Keningku berkerut. Kupandangi sekelilingku. Tak ada yang mencurigakan. Lalu kutelepon balik. Dan telingaku menangkap suara ponsel berbunyi. Aku menoleh ke belakang. Kulihat lelaki itu, gelagapan. Pasti dia. Aku tersenyum.

'Yeah, I am so busted!' dia bersuara. Bas. Berat. Seksi.
'Well, hai!'

Sore itu kami habiskan berdua. Dari makan bersama sampai nonton bersama. Menyenangkan.

*

Jam sepuluh malam.
'Besok kuliah pagi? Kerja?'
Aku menggeleng. 'Besok tidak ada jadwal kuliah. Kerja mulai jam 10.'
'Oh. Mau nginap aja ga di tempatku?'
'Tapi aku ga bawa apa-apa.'
'Pake punya gue aja ntar.'
Aku dengan polos mengangguk. Belum menyadari bagaimana anak singa di hadapanku itu sudah menjelma menjadi singa betulan.
posted by Reis's at 22.40 0 comments

Act #9




Tiga bulan berada di Surabaya, aku dan Reina mulai beradaptasi. Kadangkala memang ada sedikit kangen yang menyesak di dada, yang membuat kami begitu ingin menatap kembali langit Bali, merenangi lautnya, dan menyelami hiruk-pikuk pantai. Atau menengoki makam Papa-Mama. Namun, di sisi lain, kami juga sadar, itu hanya bagian dari masa lalu; yang hanya untuk dikenang, bukan justru menjadi pemberat langkah ke depan.

Aku menyibukkan diri bekerja part-time di sebuah cafe di dekat kos. Reina bekerja sebagai guru privat bagi anak-anak SD. Dengan demikian, kami hampir tidak mempergunakan uang sisa hasil penjualan rumah di Bali. Uang itu disimpan di Bank, sebagai cadangan untuk hal-hal yang bersifat gawat-darurat. Kami memang hidup pas-pasan, tetapi hidup itu sendiri memang tidak pernah mudah bagi kami sejak awalnya. Aku percaya, semua kesulitan ini justru akan menempa kami menjadi lebih baik lagi.

Kesibukan belajar untuk mempertahankan indeks prestasi demi beasiswa dan bekerja untuk menafkahi perut membuatku jarang terlihat di kampus. Biar begitu, aku punya seorang teman baik, yang berasal dari Jakarta. Namanya Chris. Darinya aku mengenal istilah 'gaydar'; katanya, dengan 'radar'-nya itulah dia berhasil mem'bau'iku.

Aku masih ingat, hari itu, sebulan setelah perkenalan kami, ia menghampiriku, dan bertanya langsung: 'Rei, jangan marah ya? Kamu.. binan ya?'
Waktu itu, jantungku hampir berhenti berdetak rasanya. Tapi aku mencoba tenang; 'Maksudmu..?'
'Masa ga ngerti istilah binan? Demen laki.'
Aku menelan ludah. Tak tahu bagaimana harus bersikap.
Lalu ia kembali bersuara, 'Tenang saja, aku juga koq.'

Sejak itu, kami menjadi lebih akrab. Akrab yang hanya berteman, lho, tak ada yang lebih. Lagipula, aku tak punya waktu untuk pacaran, apalagi ngeceng-in cowok. Terlebih, aku masih belum paham betul diriku ini. Dan lagi, aku tak pernah punya 'radar' segala. Bagiku, cukup aku yang berkutat dengan duniaku; aku tak mau menghabiskan waktu untuk menebak-nebak which one is which.
posted by Reis's at 22.35 0 comments

Act #8




Sementara itu, di bumi Jakarta.....

"Apa-apaan ini? Laporan keuangan dari mana ini? Ini transaksi apa? Kapan saya pernah memberi otorisasi untuk ini? Kredit ini? Angka-angka ini fiktif ya?!"

Seluruh karyawan diam saja mendengar mencak-mencak dan bentakan sang bos. Bos yang biasanya selalu baik hati dan sabar. Tak jarang keluar pujian. Paling sadis juga biasanya hanya kritikan. Tapi tak pernah pedas. Tak pernah membonuskan bentakan 3 oktaf.

Mereka hanya bisa diam menunduk. Mencoba mereka-reka dalam hati, apa penyebab emosi Bos. Mencoba menguraikan paradoks di depan mata; habis liburan ke Bali bukannya harusnya malah jadi segar? Lha, ini koq jadi tambah penat? Ada apa di Bali?

Lalu, sang asisten yang baik hati segera membubarkan mereka, dengan catatan revisi ulang semua laporan keuangan.
Dan setelah gerombolan manusia dan angka-angka itu berlalu dari ruangan kecil itu, keheningan langsung melanda. Memberikan padanya lagi nelangsa yang dari tadi dicicipinya. Yang sedari tadi ingin dihayatinya. Tapi gejolak di hati Heri masih belum reda-reda juga.

Kenapa bisa-bisanya aku seperti anak SMA yang jatuh cinta begini? Kenapa bisa-bisanya pula aku seperti kehilangan akal sehat? Mungkin aku sudah betulan gila. Kewarasanku mungkin sudah diambil sama dia. Piuh.. dan aku... menulis puisi pula! Gila! Sungguh gila!

Seperti matahari yang kehilangan sinarnya,
seperti itu jugalah aku,
gelap, dan terlupakan
tatkala aku kehilangan cintamu..

posted by Reis's at 22.30 0 comments

Chapter 2




Act #7

Sinar matahari samar-samar menerobos jendela kamar. Menciptakan siluet-siluet silau yang menyengat mata. Sayup-sayup pula, suara jalanan yang hiruk datang menyapa telinga.

Aku sudah terjaga, walaupun sebenarnya masih mengantuk. Semalaman aku tak bisa terlelap. Kuusap mataku. Jam meja kecil di samping kasur menunjukkan hari masih pagi. Alarmku baru akan berbunyi sejam lagi.

Tapi aku sudah kehilangan seleraku untuk tidur...
Sesuatu di selangkanganku sedang mengeras. Heran. Baru juga tiga hari aku di sini. Belum juga benar-benar beradaptasi. Masih belum bisa terlelap dengan nyenyak. Eh, sekalinya terlelap malah bermimpi aneh. Mimpi tentang dia..

Dan hasilnya seperti ini. Aku.. ngaceng. Duh. Memang normal. Normal sekali.

Duh... seluruh tubuhku rasanya ikut memanas. Ikut bergejolak. Ikut memberontak.

Buru-buru aku melangkah ke kamar mandi. Melepas segalanya. Lalu mengguyur diriku berkali-kali. Dingin. Bulu kudukku sudah berdiri. Sama tegaknya mungkin dengan batangku di bawah sana, yang menolak untuk turun juga.

Apa boleh buat..........................................

Katanya, masturbasi baik untuk kesehatan prostat. Katanya, sekali-kali masturbasi itu perlu, karena toh, sperma yang berlebihan pasti akan terbuang juga.

Imajinasiku melayang ke langit ke-tujuh. Liar. Seperti petir yang berloncatan tanpa kendali di awan-awan. Gemuruhnya sampai ke seluruh raga. Membebaskan dopamine dan adrenalin.. Aku mengerang. Aku terengah.

Lalu, meletuslah seluruh nafsu itu. Bertransformasi menjadi cairan kental seputih susu. Tubuhku, bersimbah peluh. Tubuhku, bersimbah pejuh.

Dan semuanya kembali kosong. Kembali hening. Kembali nelangsa. Semua realita kembali terpampang, merenggut imajinasi paling liar sekalipun, lalu memasukkannya ke dalam kerangkeng.

Aku menarik napas lagi. Kuat-kuat. Dalam-dalam.
Lalu terbayang dia.. Tidak! Tidak! Kuraih lagi gayung. Kusiram kepalaku. Kusiram wajahku.
.
.
.
tapi bayangan itu belum mau pergi juga...

posted by Reis's at 22.23 0 comments

ACT# 6




"Yakin, kamu ga mau tinggal di sini?"
Aku melirik Oom. Satu-satunya saudara mama. Kulihat ia menghela napas panjang.
"Setidaknya ada Oom di sini."
Aku menggeleng. "Terima kasih, Oom. Tapi kami ingin kehidupan yang baru.."

Rumah kami sudah dijual. Uang dihasilkan akan dipakai sebagai modal untuk kehidupan baru kami di Surabaya nanti.

Berat. Pahit. Melihat sebuah rumah yang penuh kenangan berpindah begitu saja.. Tapi, sekali lagi, aku tak punya pilihan. Oomku satu-satunya ini juga hidup pas-pasan dengan 5 anaknya. Tak mungkin berpaling padanya.

*

Kutatap langit Bali. Laut Bali. Pantai Bali. Hiruk-pikuk dan terik yang masih sama. Keindahan yang masih sama. Tapi tidak lagi terasa seperti surga. Yang ada hanyalah gambaran masa lalu yang kelam; bagaimana Papa terbunuh, Mama meninggal, dan hotel itu... Aku sadar, aku bersikap eskapis. Tapi, aku juga yakin, waktu akan menyembuhkan semua luka.

Selamat tinggal, Bali....

Bandara Ngurah Rai terlihat begitu ramai. Begitu semrawut. Setelah check-in dan membayar airport tax, aku dan Reina beranjak menuju ruang tunggu. Menunggu detik-detik yang akan benar-benar memisahkan kami dari Bali. Tak tahu sampai kapan.............

Panggilan terakhir lalu menggema. Aku dan Reina berbaris menuju pesawat yang akan membawa kami..

Dari kaca jendela pesawat, langit Bali terlihat begitu berbeda. Luas. Tak terjangkau. Misterius. Lalu setelahnya, hanya warna biru dan awan putih yang terlihat. Datar. Dan tawar..

*

Sementara itu, di bumi Bali...

Heri tampak gelisah menunggu pesawatnya. Rekan-rekan arisannya telah lama kembali ke Jakarta. Hanya ia yang memilih tinggal. Bukan karena alasan bisnis, tetapi karena..pemuda itu. Pemuda yang digaulinya di hotel. Pemuda yang sampai sekarang masih menghiasi dinding hatinya. Rei.

Ia meragu. Apakah ini hanya pelarian? Apakah ini cinta? Atau hanya nafsu? Apakah karena Rei begitu mirip dengan almarhum kekasihnya? Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab. Dan untuk itu, ia butuh menemui Rei sekali lagi. Tetapi sosok itu seperti menghilang. Entah ke mana. Entah di mana.

Ia terus mencari. Hampir dua bulan lamanya. Hingga akhirnya waktu tak mungkin lagi berkompromi. Perusahaan ayahnya membutuhkannya.
posted by Reis's at 08.05 0 comments

Act #5



Lalu mendadak hujan seperti jatuh tertahan. Ada langkah kaki mendekat. Aku tak perlu menengadah untuk melihat siapa dia..
Reina.
"Kak..." Ada ceria yang hilang dari suara merdunya. Hatiku meringis. Ada lubang besar di sana..

Kuusap mataku. Pipiku. Setidaknya aku harus kuat, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untuk Reina.
Ia membantuku berdiri. Kami kembali memasuki rumah mungil yang lengang itu.

Sesaat, kami membisu. Aku tahu, Reina menungguku. Untuk masa depan panjang yang menanti di sana.

"Na.. kita butuh rencana ke depan..."
Kami saling menatap. Apakah berjalan terus ke depan berarti membuang masa lalu...?

***

Berminggu-minggu lamanya aku dan Reina mencari-cari tiket keluar dari Bali. Kami perlu meninggalkan seluruh kepahitan di sini. Setidaknya untuk sekarang.

Aku hampir putus asa. Lalu mendadak tawaran beasiswa D3, untukku dan Reina, meski untuk jurusan yang berbeda, muncul begitu saja. Untuk universitas di pinggiran Surabaya yang baru saja dibuka.

"Tapi, itu kan berarti kita meninggalkan Bali?"
"Ya. Kita mulai hidup yang baru, Na. Lagipula, kita tak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi di sini. Kuliahku sudah terbengkalai sejak Papa meninggal. Daripada kau menganggur di sini, lebih baik kita ke Surabaya.."

Ia tampak bimbang. Sejujurnya, ada juga sedikit rasa itu di sudut hatiku. Seandainya aku boleh memilih...

Apakah Surabaya lebih baik dari Bali?
Apakah kehidupan kami akan lebih baik di sana? Kami tak mengenal siapa-siapa di sana...
Apakah kami memang cukup kuat untuk memulai yang baru?

Berbagai pertanyaan yang mungkin hanya Tuhan yang tahu jawabannya. Dan untuk itu, mungkin seharusnya aku memasrahkan semuanya pada Tuhan.. Mama, Papa.. do'akan kami.
posted by Reis's at 07.46 0 comments

ACT #4


Hujan turun. Langit menangis, dan laut diam mendengarkan curahannya.
Rinainya kian menderas. Berderai. Meluap. Mencuci jalanan dan langit, atap dan gedung. Membawa semua kesah bermuara ke laut.

Tapi tidak mencuci pergi sedihku. Tidak membawa kepahitan dari sudut mataku. Pipiku basah. Bukan karena air mata, tetapi karena air hujan. Aku ingin menangis, menumpahkan semua gundahku, seperti ketika aku yang masih tiga tahun menangis sesunggukan di pangkuan Mama. Tapi tak ada air mata yang keluar. Hanya hati yang pilu. Jantung yang ngilu. Dada yang sesak.

Dan nisan kecil di depanku seperti menyeret semua semangatku, senyumku, dan segalanya.

Mama....

Ada gelap yang membalut ragaku. Ada hampa yang mengisi paru-paruku.
Mama meninggal. Sakitnya tak tertolong..

Ma, do'akan aku dari surgamu. Titip salam untuk Papa, Ma... Aku sayang Mama...

AKu beranjak dari nisan itu. Langit yang kelabu mengingatkan aku pada masa sebulan yang lalu, ketika aku melangkah keluar dari hotel itu. Melangkah tanpa menoleh ke belakang lagi. Dan aku akan melakukan yang sama sekarang...

*

Rumah begitu lengang. Aku masih kuyup, tapi kusempatkan diri melihat Reina. Ia terlelap di sofa kecil di ruang tamu. Wajahnya begitu damai.

Lalu pandanganku mengabur. Air mata itu jatuh, satu demi satu. Bulir demi bulir. Aku berlari ke luar rumah. Kutengadahkan kepala. Membiarkan hujan mencurahi wajahku. Tapi aku tak sanggup mencegah isak ini. Aku jatuh berlutut. Dadaku naik turun.......

Aku
.
.
.
takut......
posted by Reis's at 07.42 0 comments

Act #3





Sejam lamanya kami saling bertukar cerita. Dalam ruangan yang dingin. Dalam gelas-gelas anggur.
Aku pun menjadi tahu, bahwa ia adalah eksekutif muda dari Jakarta. Ia bertemu kekasihnya lima tahun yang lalu. Empat tahun kebersamaan yang baginya terasa amat singkat. Amat pilu. Dan kematian yang memisahkan mereka seolah juga mengambil semua kenangan manis yang pernah membuatnya tersenyum. Kenangan manis yang ia ingin coba temui kembali melalui gelas-gelas alkohol. Meski semu. Meski tak berarti. Hanya itulah tiket menuju kenangan dan nostalgia.

"Jangan minum lagi, Her.." Ia sudah mabuk. Dan hatiku betulan trenyuh.
Ia tertawa hampa. Lalu merenggutku dalam pelukannya. Menciumiku dengan kasar. Bau alkohol begitu terasa. Begitu membuat mual. Tapi ia klien.

Lalu
terjadilah
.
.
.
Dua tubuh bugil saling bertindihan. Debar jantung dan desah napas melekat bagaikan bersenyawa. Kejantanannya yang mekar dan merah memompakan seluruh nafsunya ke dalam diriku. Aku terkesiap. Aku mengerang. Lalu ia membekap mulutku dengan bibirnya. Lidahnya menjelajahi kulitku. Membuatku menggelinjang. Membuatku lupa. Membuatku orgasme..

Usai hormon-hormon mereda, usai orgasme mereda, yang ada hanya rasa sakit. Aku menarik napas banyak-banyak. Kuat-kuat. Ia sudah terlelap. Entah pulas atau tidak, aku tak tahu. Bagaimana bisa ia tidur dengan nyenyak bersama dengan beban yang demikian berat?

Aku mengusap punggungnya. Rambutnya. Kucium keningnya.
Kutinggalkan saat pertamaku di sini, untukmu.. bisikku. Semoga kau menemukan pengganti dirinya. Berbahagialah..

Aku bangkit dari ranjang. Mencuci diriku di bawah kucuran shower. Dan beranjak pergi diam-diam.
posted by Reis's at 07.38 0 comments

Act #2





Entah apa yang terjadi. Setengah jam mungkin aku berada di ruangan kecil itu. Kemudian aku disuruh Mama Loren keluar, kembali ke kamar 1012. Di sana, aku disuruh memakai pakaian yang telah disiapkan. Kemudian, Mama Loren sendiri mengantarkan aku ke kamar lain. 2019.

Hatiku berbisik gugup. Mungkinkah?

Di depan pintu 2019, aku kembali memantapkan diriku. Setelah ini, semua akan berakhir. Aku akan pergi dan tak akan kembali. Yang terjadi, biarkan terjadi. Yang berlalu, biarkan berlalu.

*

Seperti kurir yang mengantarkan pesan klien, Mama Loren beranjak setelah aku bertemu dengan sang pembeli.
Pria itu, terlihat sama canggungnya denganku. Pria itu, masih muda. Sekitar 30-an, tebakku.

Bermenit-menit lamanya kami hanya membiarkan diam menjejak di atmosfer. Kesunyian yang terasa lama. Terasa membalut, dan membuat nelangsa.

Bagaimanapun, aku miliknya. Setidaknya untuk beberapa jam ke depan.
"Di mana aku harus memulai..?" desisku, nyaris tak bertenaga. Dia bergeming di kursinya. Aku tahu ia mendengar.

Aku menghampirinya. Berlutut di hadapannya. Menatapnya lekat. Tapi ia malah mengalihkan tatapannya. Menerawang entah ke mana. Detik itu pula, kutangkap lara di sudut matanya. Kutangkap galau yang membayang di sudut bibirnya. Kulihat pula seraut wajah yang lelah, menyimpan semua guratan ketampanannya..

Ia menghela napas. "Duduklah. Mari berbincang.."
Aku tercengang. Apakah ia tidak membeliku untuk cinta sesaat?

"Kamu.. mengingatkan aku pada kekasihku.."
"Karena itulah Bapak memilihku?"
Ia mendengus. "Panggil aku Heri. Dan tidak, aku tidak memilihmu."
Keningku mengernyit. "Lalu.."
"Rekan-rekanku di luar sana, peserta arisan itu yang memilihkan untukku.." Ia betulan tampak gugup dan nelangsa. "Hari ini... aku ultah.."
"Di mana kekasihmu, Her? Bukankah seharusnya kau merayakannya bersama-sama dengannya?"
"Ia.. meninggal setahun lalu.."
posted by Reis's at 06.41 0 comments

Chapter 1




Act #1
Biru. Pucat. Luas. Cerah.
Langit Bali menggantung di atas sana, dengan kumpulan mega-mega putih yang seperti kapas putih, membuatnya terlihat sedang bermalas-malasan di pangkuan langit.

Damai. Tenteram.
Hatiku mencerna pemandangan di hadapanku. Mencoba mengalihkan prahara yang berkecamuk di pikiran.

Angin membelai. Kucium aroma garam. Samar-samar, kudengar suara debur ombak, bagaikan simfoni. Halus. Merdu. Menina-bobokan malam-malam terjagaku. Samar-sama pula, kuulas sebuah senyum.

Delapan belas tahun sudah aku mengenyam Bali. Mencoba beraneka ragam makanan laut. Merenangi laut dan berselancar pada ombak. Menontoni hiruk pikuk di pantai dan para bule yang mencari liburan. Tapi aku masih saja takjub pada Bali. Pada alamnya. Pada langitnya. Pada turisnya. Pada kehidupannya.

Delapan belas tahun.. meski dipenuhi oleh kesulitan dan air mata, aku masih bisa berdiri tegak sampai hari ini.


Mungkin semuanya akan berubah sebentar lagi....


*

Dengan kedua tangan di saku celana, aku menengadah menatap gedung hotel itu. Tinggi menjulang. Dulu, ada rasa kagum yang memecah di dada. Sekarang, yang ada hanya rasa galau yang terus bergejolak.

Kurapikan rambutku. Bajuku. Bagaimanapun, ini kali pertama aku menginjakkan kaki di bangunan mewah itu.
Langkahku terasa berat, namun kumantapkan hatiku. Aku tak punya pilihan lain....

Lorong menuju kamar 1012 terlihat hening. Dari lift, kamar itu hanya berjarak 10 langkah. Namun kakiku terasa kian berat. Akh, aku tak ingin berlama-lama dengan melankolis ini. Tak ingin berlarut-larut dengan cengeng ini. Kau laki-laki, Rei..

Kuketuk pintu itu. Pelan.

Ceklek! Seorang wanita menyapa. Jejak waktu telah mengukir begitu banyak cerita di wajahnya, yang ia coba tutupi dengan kosmetika. Mama Loren.
Seulas senyum terukir jelas di bibirnya tatkala ia melihat aku.
"Masuk," ujarnya.

Di dalam kamar yang cukup luas itu, kudapati beberapa pemuda. Cakep. Bertelanjang dada. Memamerkan otot-otot yang terlatih di fitness center. Putih. Dan terlihat sudah berpengalaman.

"Mandi, dan ganti bajumu, Rei. Nanti Mama akan membantumu dandan." Kuturuti perintahnya. Setengah jam kemudian, aku sudah berganti kostum. Celana pendek yang ketat sekali. Dan berada di tengah-tengah orang asing, aku merasa sedikit risih. Minder. Aku tidaklah cantik seperti mereka. Ototku hanya otot yang terbentuk oleh alam. Kulitku gosong terbakar matahari. Tapi, kata Mama Loren, aku sempurna untuk klien-kliennya. Terutama karena aku.. masih 'pemula'.

Aku duduk di pojok ruangan. Kupenjamkan mata. Terbayang lagi wajah Papa. Mama. Reina, adik kecilku.

Dua minggu lalu, Papa meninggal, meninggalkan utang yang bertumpuk dan Mama yang sakit-sakitan. Tiga hari lagi, penagih akan datang, dan bila kami tak mampu menebus, mereka akan membawa Reina. Menjualnya. Lalu entah apa yang akan terjadi apa adikku itu.

Klise. Getir.

"Ayo bersiap," pinta Mama Loren.
Kami semua berbaris, meninggalkan kamar. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku menyisipkan do'a. Pasrah.

Aku..tak punya pilihan lain.
posted by Reis's at 06.05 0 comments

Introduction



Selamat datang.


Tidak ada banyak kata yang bisa saya sampaikan di sini.

Tapi, saya berharap, kata-kata sederhana yang terangkum di sini bisa membawa berbagai makna kepada Anda semua. And sorry, for those who are not Bahasa-speaker, I only post these stories in Bahasa.


Sebenarnya cerita-cerita di sini adalah karya saya di boyzforum, yang bahkan belum selesai; tapi karena lebih asyik menggunakan fitur di blog, saya pikir lebih baik saya post semuanya di sini saja. Siapa tahu, bisa jadi novel.

Dan seperti juga tagline saya, saya berharap Anda semua bisa ikut berbagi bersama saya di sini. Put your comments, dan mungkin komentar Anda akan mengubah jalan ceritanya. Terus terang, saya masih belum punya gambaran tentang akhir cerita ini.
Selamat menikmati.
posted by Reis's at 05.49 0 comments