Dia... Lelakiku
Never mind, you're here anyway. Have some of my cookies, dear?

Rabu, 04 Februari 2009

Act #5



Lalu mendadak hujan seperti jatuh tertahan. Ada langkah kaki mendekat. Aku tak perlu menengadah untuk melihat siapa dia..
Reina.
"Kak..." Ada ceria yang hilang dari suara merdunya. Hatiku meringis. Ada lubang besar di sana..

Kuusap mataku. Pipiku. Setidaknya aku harus kuat, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untuk Reina.
Ia membantuku berdiri. Kami kembali memasuki rumah mungil yang lengang itu.

Sesaat, kami membisu. Aku tahu, Reina menungguku. Untuk masa depan panjang yang menanti di sana.

"Na.. kita butuh rencana ke depan..."
Kami saling menatap. Apakah berjalan terus ke depan berarti membuang masa lalu...?

***

Berminggu-minggu lamanya aku dan Reina mencari-cari tiket keluar dari Bali. Kami perlu meninggalkan seluruh kepahitan di sini. Setidaknya untuk sekarang.

Aku hampir putus asa. Lalu mendadak tawaran beasiswa D3, untukku dan Reina, meski untuk jurusan yang berbeda, muncul begitu saja. Untuk universitas di pinggiran Surabaya yang baru saja dibuka.

"Tapi, itu kan berarti kita meninggalkan Bali?"
"Ya. Kita mulai hidup yang baru, Na. Lagipula, kita tak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi di sini. Kuliahku sudah terbengkalai sejak Papa meninggal. Daripada kau menganggur di sini, lebih baik kita ke Surabaya.."

Ia tampak bimbang. Sejujurnya, ada juga sedikit rasa itu di sudut hatiku. Seandainya aku boleh memilih...

Apakah Surabaya lebih baik dari Bali?
Apakah kehidupan kami akan lebih baik di sana? Kami tak mengenal siapa-siapa di sana...
Apakah kami memang cukup kuat untuk memulai yang baru?

Berbagai pertanyaan yang mungkin hanya Tuhan yang tahu jawabannya. Dan untuk itu, mungkin seharusnya aku memasrahkan semuanya pada Tuhan.. Mama, Papa.. do'akan kami.
posted by Reis's at 07.46

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home