Dia... Lelakiku
Never mind, you're here anyway. Have some of my cookies, dear?

Selasa, 03 Maret 2009

Act # 20




Apa artinya jarak dalam cinta?
Kesepiankah? Kesetiaankah?

*


Kutatap lekat-lekat wajah itu.

Ah, betapa inginnya aku menghambur ke pelukannya. Menciuminya. Mengatakan aku mencintainya. Menggenggam tangannya..

Tapi aku hanya membeku. Membisu. Dan tak berdaya.
Biarpun begitu banyak yang ingin kuutarakan. Begitu banyak doa yang ingin kusematkan.


Persetan! Aku benci ini semua...


Dari jendela gerbongnya, Tomi menatap diriku. Ekspresinya tawar dan datar.
Aku tak tahu bagaimana dengannya, tapi waktu itu, rasanya dunia telah berakhir..

*

Air mata itu menetes satu-satu. Tanpa tertahankan. Semakin ingin kutahan, semakin sesak dadaku. Kecuali papa, belum pernah aku menangisi lelaki manapun..

Aku bergegas ke kamar mandi.
Membasuh wajahku berkali-kali. Kurasakan dingin itu menyengat.

Tapi mataku masih tetap panas. Menyengat. Sedih yang tertunda itu meluap membanjiri pipiku.

Aku jatuh terduduk, berusaha mengambil napas, satu demi satu.


Inikah rasanya perpisahan?
posted by Reis's at 22.32 2 comments

Chapter 3 - Act #19




Kurasakan lengan kokoh itu menyusup, memelukku dari belakang. Dari ranjang besar, kulihat jendela yang masih tertutup gorden. Sinar matahari samar-samar membentuk siluet. Langit biru tak pernah bisa terlihat dari kost Tomi.
'Suatu hari nanti, aku berjanji, akan membangunkan istana untuk kita. Dari atas ranjang kita, kau akan bisa melihat langit yang baru. Dan aku, akan bisa melihat matahari menyinari wajahmu..' Kuremas jemari Tomi.

*


Kuhela napas. Rumah baru Reina memang sederhana. Dari kamar tamu yang kecil ini, melalui jendelanya aku bisa melihat pemandangan tepi pantai. Menyeretku kembali dalam nostalgia masa kecilku. Menyeretku kembali dalam genangan memori bersama Tomi.


Sedang apa kau sekarang?


*

'Jakarta?'
Tomi memalingkan wajahnya. 'Lalu..kita?' 'Tergantung padamu..' Dan saat itu, cinta seperti kehilangan kata-kata. Kehilangan makna. Seperti kopi pahit yang terlalu kental, sehingga berapapun sendok gula yang ditambahkan, si pahit tak akan berubah menjadi manis. 'Jangan menggantungkan keputusan padaku.' Tomi terperangah. Lalu menunduk. 'Kau..cinta padaku?'

*

Adakah penyesalan dalam cinta? Jika ada, masihkah perasaan itu bisa dilabeli sebagai cinta?
Aku sungguh tak mengerti. Dan mungkin tak akan pernah. Aku bangkit, dan duduk di tepi ranjang. Masih tak berniat keluar kamar. Kulirik jam di samping meja. Angka-angka digitalnya berkedip menunjukkan pukul sepuluh. Sudah siang. Tapi aku masih mengantuk. Insomnia itu begitu menyiksa....

*


Tomi masih diam.

Ah, memang benar. Cinta itu telah menguap pergi, hilang tanpa meninggalkan jejak.
Kopi itu bukan hanya pahit, tetapi juga telah mendingin. Kehilangan jejak bara panasnya...


'Aku tak keberatan mengenai masalah jarak..'
Kali ini, ia menengadah.
Matanya sayu menatapku. Lalu ia memelukku.

'Aku... lebih baik tak pergi..' bisiknya lirih.


Tanganku mengejang di udara. Tak sanggup membalas pelukannya.

'Karena aku?'

Kurasakan kepalanya bergerak mengangguk.
Jawaban yang salah..
Kudorong tubuhnya.
'Kau harus pergi.'

*

Adakah penyesalan dalam cinta..?
posted by Reis's at 22.25 0 comments

Act #18




Kutatap Reina. Lekat-lekat. Ah, ia cantik sekali. Matanya sedari tadi membulat, memancarkan binar-binar bahagia. Binar-binar yang kurindukan. Binar-binar yang tak pernah terlihat lagi 3 tahun terakhir ini...


Dalam balutan gaun putihnya yang sederhana, Reina mengingatkanku pada almarhumah mama. Sederhana dan klasik, tapi anggun dan memikat.

"Na...," bisikku samar, sebelum mengiringinya ke altar, "Kamu harus bahagia, ya.."

Ia menatapku. Lalu memelukku. Erat.
Aku mengusap punggungnya. Hari ini, adik kecilku itu akan menikah. Ma, Pa, kalian lihat tidak? Reina menikah hari ini...

Tapi, hari ini, bukannya waktunya bersedih. Hari ini waktunya bahagia. Kusimpan air mata sentimental ini.

"Ayo, Na.."

Diiringi langkahku, dan tatapan sanak-kerabat, teman-teman, dan pengantin pria, kami berjalan mendekati altar dan pastor.

Tatapanku menerawang, seiring pemberkatan yang dilakukan oleh pastor. Seiring sumpah setia kedua mempelai di depan altar..

Akankah ada hari ketika aku melakukan hal yang sama...?


Ketika kesetiaan dan komitmen menjadi pertanyaan, masih bisakah suatu hubungan berlanjut?
Ketika cinta dan nafsu sulit dibedakan, masih berartikah malam-malam yang intim?

Aku merasa gamang. Galau. Dan aku teringat lagi pada Tomi. Aroma perpisahan masih begitu lekat di mataku.

Akh..kuhalau semua sedih. Hari ini, aku harus turut berbahagia. Adikku satu-satunya menikah. Hari ini, bukan saatnya memainkan opera cengeng di dalam hati.

Reina menoleh padaku, usai pemberkatan dilakukan. Kuulas sebuah senyum.

Mulutnya menggumamkan sesuatu. Dan kali ini, aku mengangguk...

Bali, aku pulang menjengukmu...
posted by Reis's at 22.19 0 comments

Act #17




"Jadi, sudah berapa lama kenalan sama Chris?"
Tomi berhenti membelai punggungku. Terdiam. Membuatku menoleh padanya. "Dia adik kelasku, dulu pas di SMA." "Oh ya? Kenalnya di mana?" "Lewat situs gay-dating." "Oh.." "Kenapa?" "Heran aja." "Heran?" "Pernah pacaran ama dia?" "Bukan tipe." "Fisik?" "Salah satunya." Dia menciumi punggungku. Tengkukku. Membuatku kembali menerawang.

"Lalu? Kenapa aku?"
Ia kembali menghentikan aktivitasnya.
"Maksudmu?"
"Kenapa memilihku?"
"Aku mencintaimu."

Aku berbalik lagi. Mengubah posisi; duduk di hadapannya. Tomi ikut bangkit. Ia membelai wajahku.
"Aku cemburu."
Dia tersenyum. "Karena?"
"Dia tahu semua masa lalumu."
Senyum itu kian lebar.

"Ga juga. Tapi.. apa yang ingin kau tahu?"
Aku bersandar di bahunya. "Semuanya.."
Dan ia mulai bercerita, sampai aku terlelap..
posted by Reis's at 22.09 0 comments