Dia... Lelakiku
Never mind, you're here anyway. Have some of my cookies, dear?

Rabu, 04 Februari 2009

ACT# 6




"Yakin, kamu ga mau tinggal di sini?"
Aku melirik Oom. Satu-satunya saudara mama. Kulihat ia menghela napas panjang.
"Setidaknya ada Oom di sini."
Aku menggeleng. "Terima kasih, Oom. Tapi kami ingin kehidupan yang baru.."

Rumah kami sudah dijual. Uang dihasilkan akan dipakai sebagai modal untuk kehidupan baru kami di Surabaya nanti.

Berat. Pahit. Melihat sebuah rumah yang penuh kenangan berpindah begitu saja.. Tapi, sekali lagi, aku tak punya pilihan. Oomku satu-satunya ini juga hidup pas-pasan dengan 5 anaknya. Tak mungkin berpaling padanya.

*

Kutatap langit Bali. Laut Bali. Pantai Bali. Hiruk-pikuk dan terik yang masih sama. Keindahan yang masih sama. Tapi tidak lagi terasa seperti surga. Yang ada hanyalah gambaran masa lalu yang kelam; bagaimana Papa terbunuh, Mama meninggal, dan hotel itu... Aku sadar, aku bersikap eskapis. Tapi, aku juga yakin, waktu akan menyembuhkan semua luka.

Selamat tinggal, Bali....

Bandara Ngurah Rai terlihat begitu ramai. Begitu semrawut. Setelah check-in dan membayar airport tax, aku dan Reina beranjak menuju ruang tunggu. Menunggu detik-detik yang akan benar-benar memisahkan kami dari Bali. Tak tahu sampai kapan.............

Panggilan terakhir lalu menggema. Aku dan Reina berbaris menuju pesawat yang akan membawa kami..

Dari kaca jendela pesawat, langit Bali terlihat begitu berbeda. Luas. Tak terjangkau. Misterius. Lalu setelahnya, hanya warna biru dan awan putih yang terlihat. Datar. Dan tawar..

*

Sementara itu, di bumi Bali...

Heri tampak gelisah menunggu pesawatnya. Rekan-rekan arisannya telah lama kembali ke Jakarta. Hanya ia yang memilih tinggal. Bukan karena alasan bisnis, tetapi karena..pemuda itu. Pemuda yang digaulinya di hotel. Pemuda yang sampai sekarang masih menghiasi dinding hatinya. Rei.

Ia meragu. Apakah ini hanya pelarian? Apakah ini cinta? Atau hanya nafsu? Apakah karena Rei begitu mirip dengan almarhum kekasihnya? Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab. Dan untuk itu, ia butuh menemui Rei sekali lagi. Tetapi sosok itu seperti menghilang. Entah ke mana. Entah di mana.

Ia terus mencari. Hampir dua bulan lamanya. Hingga akhirnya waktu tak mungkin lagi berkompromi. Perusahaan ayahnya membutuhkannya.
posted by Reis's at 08.05

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home