Dia... Lelakiku
Never mind, you're here anyway. Have some of my cookies, dear?

Rabu, 04 Februari 2009

Chapter 1




Act #1
Biru. Pucat. Luas. Cerah.
Langit Bali menggantung di atas sana, dengan kumpulan mega-mega putih yang seperti kapas putih, membuatnya terlihat sedang bermalas-malasan di pangkuan langit.

Damai. Tenteram.
Hatiku mencerna pemandangan di hadapanku. Mencoba mengalihkan prahara yang berkecamuk di pikiran.

Angin membelai. Kucium aroma garam. Samar-samar, kudengar suara debur ombak, bagaikan simfoni. Halus. Merdu. Menina-bobokan malam-malam terjagaku. Samar-sama pula, kuulas sebuah senyum.

Delapan belas tahun sudah aku mengenyam Bali. Mencoba beraneka ragam makanan laut. Merenangi laut dan berselancar pada ombak. Menontoni hiruk pikuk di pantai dan para bule yang mencari liburan. Tapi aku masih saja takjub pada Bali. Pada alamnya. Pada langitnya. Pada turisnya. Pada kehidupannya.

Delapan belas tahun.. meski dipenuhi oleh kesulitan dan air mata, aku masih bisa berdiri tegak sampai hari ini.


Mungkin semuanya akan berubah sebentar lagi....


*

Dengan kedua tangan di saku celana, aku menengadah menatap gedung hotel itu. Tinggi menjulang. Dulu, ada rasa kagum yang memecah di dada. Sekarang, yang ada hanya rasa galau yang terus bergejolak.

Kurapikan rambutku. Bajuku. Bagaimanapun, ini kali pertama aku menginjakkan kaki di bangunan mewah itu.
Langkahku terasa berat, namun kumantapkan hatiku. Aku tak punya pilihan lain....

Lorong menuju kamar 1012 terlihat hening. Dari lift, kamar itu hanya berjarak 10 langkah. Namun kakiku terasa kian berat. Akh, aku tak ingin berlama-lama dengan melankolis ini. Tak ingin berlarut-larut dengan cengeng ini. Kau laki-laki, Rei..

Kuketuk pintu itu. Pelan.

Ceklek! Seorang wanita menyapa. Jejak waktu telah mengukir begitu banyak cerita di wajahnya, yang ia coba tutupi dengan kosmetika. Mama Loren.
Seulas senyum terukir jelas di bibirnya tatkala ia melihat aku.
"Masuk," ujarnya.

Di dalam kamar yang cukup luas itu, kudapati beberapa pemuda. Cakep. Bertelanjang dada. Memamerkan otot-otot yang terlatih di fitness center. Putih. Dan terlihat sudah berpengalaman.

"Mandi, dan ganti bajumu, Rei. Nanti Mama akan membantumu dandan." Kuturuti perintahnya. Setengah jam kemudian, aku sudah berganti kostum. Celana pendek yang ketat sekali. Dan berada di tengah-tengah orang asing, aku merasa sedikit risih. Minder. Aku tidaklah cantik seperti mereka. Ototku hanya otot yang terbentuk oleh alam. Kulitku gosong terbakar matahari. Tapi, kata Mama Loren, aku sempurna untuk klien-kliennya. Terutama karena aku.. masih 'pemula'.

Aku duduk di pojok ruangan. Kupenjamkan mata. Terbayang lagi wajah Papa. Mama. Reina, adik kecilku.

Dua minggu lalu, Papa meninggal, meninggalkan utang yang bertumpuk dan Mama yang sakit-sakitan. Tiga hari lagi, penagih akan datang, dan bila kami tak mampu menebus, mereka akan membawa Reina. Menjualnya. Lalu entah apa yang akan terjadi apa adikku itu.

Klise. Getir.

"Ayo bersiap," pinta Mama Loren.
Kami semua berbaris, meninggalkan kamar. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku menyisipkan do'a. Pasrah.

Aku..tak punya pilihan lain.
posted by Reis's at 06.05

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home