Dia... Lelakiku
Never mind, you're here anyway. Have some of my cookies, dear?

Minggu, 07 Februari 2010

Act #22



Jakarta, 6 bulan sesudahnya...

Aku senewen. Benar-benar senewen. Entah sudah berapa kali aku berjalan mondar-mandir di kamar kost Tomi. Entah sudah berapa kali aku melirik jam di pergelangan tanganku. Dan entah sudah berapa kali pula aku melirik ponselku. Berharap jarum-jarum waktu akan berhenti bergerak. Berharap barangkali ada SMS atau missed-call yang terlewatkan.

Tapi yang ada hanya kekosongan. Kebisuan. Hati yang kian ribut. Kian nelangsa. Delapan belas ratus detik sudah berlalu. Delapan belas ratus detik yang terasa seperti selamanya. Delapan belas ratus detik pula sudah kubujuk-bujuk diriku, Jakarta macet, Rei. Tomi hanya telat. Ia pasti tengah berusaha datang menjemputku di kostnya ini, untuk kemudian bersama-sama melewatkan malam Sabtu di EX. Pikirkan kalau ini adalah malam Sabtu, dan artinya akan ada dua hari penuh yang bisa kulewatkan bersama Tomi.. Huhu... aku mengeluh. Mencelos. Hari Minggu nanti aku harus kembali ke Surabaya. Dan itu artinya setengah tahun kemudian barulah aku bisa kembali bertemu dengannya. Mungkin kurang dari setengah tahun, kalau ia tidak sibuk dan ada long-weekend yang bisa berkompromi sejenak.

Ketika jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul 9 malam, aku memutuskan untuk berganti baju.
Kalaupun ia pulang, ia pasti lelah... Dan aku tak tega memintanya menemaniku melihat Jakarta.

Kucoba menghubungi ponselnya. Seperti yang sudah-sudah, meski terdengar nada sambung, tak ada yang mengangkat. Aku kembali senewen.

Pukul 11 malam itu, terdengar ketokan kasar di depan pintu. Hati-hati, kubuka pintu. Sedikit. Untuk mengintip. Dan apa yang terjadi kemudian tak akan pernah bisa kulupakan untuk seumur hidupku...

*

"Hei.." dia menyapaku.
Dan bau alkohol yang pekat tercium jelas dari mulutnya. Dia tampak sempoyongan. Tak butuh menit untuk menyadari apa yang terjadi pada dirinya.. Ia mabuk. Ia mabuk..

Aku melangkah mundur. Ia masuk, masih sempoyongan, dan menjatuhkan diri ke kasurnya. Ia meracau tak jelas. Aku menatap tak percaya.

Kenapa dia mabuk? Sedang lari dari apakah dia? Adakah masalah yang tak bisa ia selesaikan?

Mendadak, kamar itu terasa demikian asing. Demikian jauh. Aku jatuh terduduk di pojok kamar.
Aku takut. Jantungku berdegup kencang.
Kupeluk kedua lututku.

..Jangan cengeng, Rei....jangan cengeng..
Tetapi mataku terasa kian pedih. Kian menyayat..
Aku didera perasaan bersalah.. Salahku karena tak bisa selalu di sisinya.. Salahku karena dia mabuk.. Salahku karena terlalu rapuh untuk menjaganya..

*

Jam 3 pagi.

Aku tak lagi menangis. Tidak juga merasa mengantuk. Atau nelangsa. Atau.. ah, aku tidak tahu lagi apa yang sebenarnya kurasakan sekarang...

Hampir 3 jam aku terduduk di pojok kamar. Diam, tak bergerak. Napasku satu-satu. Sebagian diriku takut membangunkannya.. karena mimpi buruk itu akan menjadi nyata. Sebagian lainnya ingin merangkulnya, membantunya melepas bebannya..

"Rei.."

Aku terperanjat. Kulirik lelaki itu.
Masih terlelap..

Bukankah cinta seharusnya mengalahkan semuanya?.. rasa takut jugakah?
Aku bangkit, berjalan mendekat. Apa yang sedang ia mimpikan dalam dunianya di sana? Apakah aku membawanya senyum di sana..?

Kubelai wajahnya. Kulonggarkan kemejanya. Kulepaskan sepatunya, dan kaus kakinya. Kulepaskan pula ikat pinggangnya.. Bagaimanapun, dia lelakiku...

Kuhela napas. Lalu lenguhannya menyapa telingaku. Aku menatapnya. Ia menggeliat, dan membuka mata. Mencari-cari sesuatu. Dan mendapati aku menatapnya.

Ia mengernyitkan keningnya. Mencoba mengumpulkan segenap kesadarannya yang terberai oleh alkohol.

Lima menit ia memenjamkan mata, memikirkan entah apa. Kemudian bangkit, dan keluar kamar. Tak lama, kudengar percikan air.

Hari itu, Sabtu pagi. Berpikir bahwa masih ada Minggu, aku tak tahu itulah Sabtu terakhir aku bersamanya.

Ketika ia memasuki kamarnya kembali, aku sudah meringkuk di sudut kamar. Ia menatapku. Sejenak, hanya bisu yang menari-nari di udara. Membuat rasanya demikian asing, demikian galau.

Aku tak tahu mesti bersuara apa. Mesti berkata apa. Aku bahkan tak berani menatapnya.

Ia duduk di tepi ranjang. Menatapku lekat-lekat. Matanya mencerminkan pedih yang teramat sangat.

"Maaf.."

Dan seketika, aku merasa wajahku panas. Mataku tersengat. Dadaku sesak.

Aku menangis lagi. Kali ini, kubenamkan wajahku ke dalam lengan yang memeluk lutut erat-erat. Aku tak sanggup membiarkannya melihatku menangis.

Ia menghela napas. Lalu beranjak, merengkuhku.

Aroma perpisahan itu telah berada di depan mata. Hanya aku yang terlalu buta untuk melihatnya....

 *
Aku merasa mengejang.

Seluruh duniaku hilang, tertelan dalam lubang hitam yang tak berdasar.
Semua yang pernah kurasakan, kuyakini, dan kudamba, lenyap tak berbekas. Hanya meninggalkan jejak-jejak pahit bernama luka, yang menggigit, dan menyadarkan aku, semua ini bukan mimpi. Semua ini pernah ada.

Tak butuh hitungan jam untuk mengakhiri apa yang pernah ada selama beberapa tahun. Dan menit-menit singkat itu, selanjutnyalah yang kubawa seumur hidupku. Bukan kenangan-kenangan itu.

Aku merasa mual.
Dadaku sesak. Sementara oksigen satu-satunya telah dirampas dariku.

Aku menangis. Dari balik tirai air mata, kulihat dia.

"Menangislah sepuasnya, supaya kelak, kau tak perlu menangis demi diriku ini.."

Kulihat matanya. Mata yang sekarang terasa asing. Terasa kian menerawang. Aku bukan bagian hidupnya lagi...

"Suatu saat, kau pasti akan mengerti..."

Aku bangkit. Meraih ranselku. Ia mencoba mencegahku.
"Tinggallah di sini. Besok kuantar kau ke stasiun.. aku yang pergi malam ini.."

Aku menggeleng lemah. Untuk apa, jika yang tersisa hanya sakit?

Mungkin itulah kali terakhir aku melihatnya.
Tetapi, sesungguhnya, dalam hatiku, dalam mimpiku, aku masih sering mendapatinya. Mendapatinya terdiam, tersenyum, dan hanya menatapku. Seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara kita. Seolah cinta itu tak pernah ada.

Tak ada salam perpisahan yang manis.
Tak ada kata-kata tanya yang terlontarkan.
Hanya ada diam. Diam yang membuat kami telah saling memahami.
Dan tubuh itu, yang pernah kupeluk, kuraba, kuciumi, kusentuh, dan kukenal, sekarang mendadak menolakku. Bahkan menolak memelukku. Menolak menyentuhku lagi..

Rasa itu hanya menemukan klimaksnya dalam kata 'MAAF' darinya. Hanya itu. Sesederhana itu.

Aku menangis. Lagi dan lagi.
Seolah dengan begitu, semua akan kembali seperti semula.
Tapi bermenit-menit, sampai napasku habis sekalipun, tak ada yang berubah.
Aku ingin berhenti menangis.
Aku membenci diriku sendiri yang menangis.
Tapi semakin aku ingin berhenti menangis, semakin kuat tangisanku.
Karena aku semakin tahu, aku tak berdaya..

Dan rasanya sesak. Sesak....

***
posted by Reis's at 04.57

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home