Dia... Lelakiku
Never mind, you're here anyway. Have some of my cookies, dear?

Sabtu, 06 Februari 2010

Act #21



Di tempat lain di Bali. Saat yang sama.

Kamar 2019. 

"Pak.."
"Pergilah.."

Pemuda itu melongo. Entah harus merasa terhina atau gembira. Belum pernah ia bertemu dengan klien yang menolak bercinta dengannya. Belum pernah ia bertemu dengan klien yang bersedia membayarkan sejumlah uang atas sesuatu yang belum dilakukannya.

Hot money. Siapa yang menolak? Pemuda itu kemudian pamitan, meninggalkan Heri dalam ruang kamarnya yang sepi. Heri menatap ke jendela kacanya. Mendapati awan yang berarak gagah. Mendapati langit yang putih pucat. Mendapati Kuta yang merentang indah..

Semuanya memang masih sama.

*
Ombak bergulung-gulung, kemudian memecah berderai. Seperti seorang bocah kecil yang tertawa riang. Sambil menyusuri sepanjang garis pantai, kurasakan air laut bergerak menghampiri kakiku, membasahinya, menyeret barangkali sedikit pasir, dan kemudian kembali pulang.

Kuterawang kaki langit yang menyatu dengan air laut di ujung sana. Matahari yang menyengat memaksaku menyipitkan mata. Aku masih selalu bertanya-tanya, ada apa gerangan di ujung sana?

Pantai Kuta begitu pikuk. Begitu ramai. Dan semua mengisyaratkan kegembiraan dunia yang seolah tak akan surut. Tak akan lekang dan karatan, meskipun didera oleh gelombang kesedihan dan kemalangan.

Apa itu bahagia?

Pertanyaan itu begitu mengusik. Dari dulu, sampai saat ini.

Apakah bahagia adalah ketika kita bertemu dengan seseorang yang kita cintai, menembus ruang dan waktu?

Aku teringat lagi pada Tomi. Aku begitu kangen padanya.

Tiga bulan lalu, di hari kelulusanku dari D3, ia mengatakan padaku kesempatan yang ditawarkan padanya. Ia memperoleh promosi, dan itu berarti ia harus dimutasikan ke Jakarta. Ke pusat perusahaannya. Ke pusat semua jenis kemungkinan.

Ia mengajakku ikut besertanya. Tapi aku tahu, dalam hatinya, dan dalam hatiku, kami sama-sama tak pernah siap untuk melangkah lebih jauh. Aku selalu terkesiap dengan kenyataan ini. Bahkan waktu tiga tahun - 1095 hari - tak sanggup memberi definisi hubungan kami...

Sejak itu, yang ada hanya SMS. Atau telepon. Kadang malah berhari-hari tak ada kabar darinya. Dan jarak di antara kami menciptakan banyak hal. Sering aku hanya harus menahan kekesalanku padanya, segudang pertanyaan-pertanyaan yang mengisyaratkan kecemburuanku, dan sentimentil kangenku. Karena aku tahu, waktu begitu berharga. Pulsa begitu berharga untuk disia-siakan dengan hal yang tak berguna semacam itu.

Dan, dalam lubuk hatiku, aku tak yakin berapa lama bisa membiarkan api itu tetap menyala...

Kuhela napas. Saat itu pula, kusadari aku telah berjalan sampai ke hotel itu. Seiris nostalgia lama kembali terkuak. Kamar 2019. Heri.

Mengapa menjadi seperti ini harus menyimpan begitu banyak lara?

*
 
Heri menatap Ngurah Rai untuk kesekian kalinya. Berharap pada keajaiban di detik-detik terakhir. Berharap bahwa entah bagaimana caranya, pria yang ditunggunya selama ini akan muncul, menepuk bahunya, dan menyapanya. Lalu ia akan mengejar ketertinggalannya. Menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tanpa akhir. Atau bahkan hanya duduk diam, di sisinya, dan memandang wajahnya.

If I still couldn't find you, I would move on.. Ia berbisik samar pada dirinya sendiri.

Ketika pesawat mengangkasa, Heri memenjamkan matanya erat-erat.
Kenapa kau mesti berlalu waktu itu?
Kenapa aku mesti mabuk?
Ada di mana kau sekarang?
Sudah berapa lelaki yang membayarmu untuk menjamahimu?


Hatinya tak rela. Hatinya marah. Hatinya cemburu.
Tetapi ia juga tak berdaya, selain mengucapkan sebaris kalimat itu.

Good bye, Reis.. 


***

posted by Reis's at 19.03

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home