Dia... Lelakiku
Never mind, you're here anyway. Have some of my cookies, dear?

Minggu, 07 Februari 2010

Act #23




Sampai di mana, tadi? Oh, tentang perpisahan. Sebentar, ijinkan aku menarik napas sejenak.

Ijinkan aku merangkumkan kembali potongan-potongan itu. Tomi meninggalkanku tak lama ia pindah ke Jakarta. Mungkin hubungan jarak jauh terlalu berat bagi kami, yang sama-sama picik dan tidak dewasa. Mungkin ia memiliki seorang kekasih yang baru. Entah. Mungkin pula aku yang tak pantas untuknya. Mungkin pula aku bukan kekasih yang benar-benar ia inginkan. Aku tak tahu. 

Memang, berbulan-bulan lamanya aku menutup diri. Bagiku, hanya ada kuliahku. Hanya ada aku. Pekerjaanku..

Barangkali itu yang lebih mudah. Karena dengan begitu, aku tak perlu memikirkan dia, tak perlu berharap dia akan kembali untukku. Tak perlu memikirkan sejuta alasan yang membuatnya meninggalkanku...

*

Lalu, malam itu, di tengah laporan dan tugas yang masih harus kukerjakan, ponselku berdering. Kulirik nama itu di layar. Aku bergeming.

Hatiku berdebar. Kencang. Tak tahu mesti bagaimana.
Teringat kembali benteng yang kubangun dengan susah payah. Benteng yang membatasi dunia kekinianku dengan masa laluku. Sekarang benteng itu terasa rapuh. Setiap saat bisa runtuh.

Adegan-adegan itu kembali berputar..

Kuraih ponselku. Masih tak tahu harus bagaimana.
Lalu, dering itu terputus dengan sendirinya. Aku menghela napas.

Kuletakkan kembali ponsel itu.
Dan kembali, dering itu terdengar. Nyaring.
Kali ini, kupencet tombol hijau.

Aku membisu, sekian detik, sebelum bersuara, terbata-bata.. "Halo?"
Suaraku pasti terdengar berat.

"Hei," suara itu menyapa. Rasanya seperti air sejuk yang mendadak disiramkan ke kepalamu. Dingin. Menghentak. Dan menyadarkanmu, sekali lagi, semua ini bukan mimpi. Lelaki itu memang pernah hadir dalam hidupku. Lelaki itu pernah menjadi lelakiku...

Aku menghela napas. Lagi.

"Apa kabar?"
"Baik." Haruskah aku terdengar tak baik di telingamu? "Kamu?"
Dia tertawa. Dan aku merasa melihat senyumnya lagi.
"Aku baik, Rei. Sibuk apa sekarang?"
"Paling ngerjain tugas. Dan kerja."
"Bukan itu maksudku."
"Lalu apa dong? Ya kerjaan gue cuman gito-gito aja."

Dia tertawa. Jantungku berdebar lagi. Tembok pertahananku runtuh sudah. Ternyata aku masih merindukannya. Menginginkannya. Mencintainya. Sekaligus membencinya. Merutukinya.. Hatiku mencelos. Ternyata masih begitu banyak emosi yang bisa ia hadirkan untukku, hanya dengan suaranya, tawanya, dan perhatiannya.

Aku mengerti sekali arah pembicaraannya.
Aku menarik napas.

"Aku masih jomblo, koq." Kenapa kamu ingin tahu?
"Eh? Kenapa?"
Karena aku masih belum bisa melupakanmu. Karena aku masih mengharapkanmu meralat semua ucapanmu. Masih perlukah kau bertanya?

"Tak ada waktu." Klise. Tapi aku tak perlu alasan yang lebih baik untuk meyakinkannya.
"Oh.."
"Kamu sendiri?"
"Hehe.. jadi mau curhat neh.."
"Apa?"
"Kemaren kenalan dengan satu cowok.."

Dan duniaku mendadak terasa hilang.. Gagu. Kelu. Dan terasa nyeri.

*

Dua jam aku mendengarkan dia curhat. Tentang seorang lelaki yang tengah dikejarnya. Tentang bagaimana lelaki itu mempermainkannya. Tentang bagaimana ia merasa begitu konyol dan bodoh. Tentang bagaimana ia tak bisa juga melepaskan dirinya dari lelaki itu. Tentang lelaki itu, yang akhirnya menjadi kekasih sahabatnya sendiri..

Aku menggigit bibirku. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat ini. Ada begitu banyak yang berkecamuk di hati. Bergejolak, menelan semua logika dan akal sehat. Menerjang dan meluluhlantakkan pertahananku selama ini.
 
Kupeluk kedua lututku. Erat-erat. Kamar kecilku terasa sepi. Malam terasa menggigil. Rasa sesak yang familiar itu kembali menyeruak.

Apa yang telah kuperbuat? Apa yang telah kulakukan?
Mengapa aku masih juga mencintainya? Mengapa aku masih juga mengharapkannya?
Tak semenit berlalu dari percakapan di ponsel itu, yang kuhabiskan tanpa berharap ia akan meminta maaf padaku lagi, dan memintaku kembali padanya.
Tak sedetikpun berlalu ketika aku mendengar suaranya lagi, ada nyeri di ulu dadaku.

Apa yang telah terjadi..? mengapa mencintainya mesti berakhir seperti ini..?
posted by Reis's at 05.22 0 comments

Act #22



Jakarta, 6 bulan sesudahnya...

Aku senewen. Benar-benar senewen. Entah sudah berapa kali aku berjalan mondar-mandir di kamar kost Tomi. Entah sudah berapa kali aku melirik jam di pergelangan tanganku. Dan entah sudah berapa kali pula aku melirik ponselku. Berharap jarum-jarum waktu akan berhenti bergerak. Berharap barangkali ada SMS atau missed-call yang terlewatkan.

Tapi yang ada hanya kekosongan. Kebisuan. Hati yang kian ribut. Kian nelangsa. Delapan belas ratus detik sudah berlalu. Delapan belas ratus detik yang terasa seperti selamanya. Delapan belas ratus detik pula sudah kubujuk-bujuk diriku, Jakarta macet, Rei. Tomi hanya telat. Ia pasti tengah berusaha datang menjemputku di kostnya ini, untuk kemudian bersama-sama melewatkan malam Sabtu di EX. Pikirkan kalau ini adalah malam Sabtu, dan artinya akan ada dua hari penuh yang bisa kulewatkan bersama Tomi.. Huhu... aku mengeluh. Mencelos. Hari Minggu nanti aku harus kembali ke Surabaya. Dan itu artinya setengah tahun kemudian barulah aku bisa kembali bertemu dengannya. Mungkin kurang dari setengah tahun, kalau ia tidak sibuk dan ada long-weekend yang bisa berkompromi sejenak.

Ketika jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul 9 malam, aku memutuskan untuk berganti baju.
Kalaupun ia pulang, ia pasti lelah... Dan aku tak tega memintanya menemaniku melihat Jakarta.

Kucoba menghubungi ponselnya. Seperti yang sudah-sudah, meski terdengar nada sambung, tak ada yang mengangkat. Aku kembali senewen.

Pukul 11 malam itu, terdengar ketokan kasar di depan pintu. Hati-hati, kubuka pintu. Sedikit. Untuk mengintip. Dan apa yang terjadi kemudian tak akan pernah bisa kulupakan untuk seumur hidupku...

*

"Hei.." dia menyapaku.
Dan bau alkohol yang pekat tercium jelas dari mulutnya. Dia tampak sempoyongan. Tak butuh menit untuk menyadari apa yang terjadi pada dirinya.. Ia mabuk. Ia mabuk..

Aku melangkah mundur. Ia masuk, masih sempoyongan, dan menjatuhkan diri ke kasurnya. Ia meracau tak jelas. Aku menatap tak percaya.

Kenapa dia mabuk? Sedang lari dari apakah dia? Adakah masalah yang tak bisa ia selesaikan?

Mendadak, kamar itu terasa demikian asing. Demikian jauh. Aku jatuh terduduk di pojok kamar.
Aku takut. Jantungku berdegup kencang.
Kupeluk kedua lututku.

..Jangan cengeng, Rei....jangan cengeng..
Tetapi mataku terasa kian pedih. Kian menyayat..
Aku didera perasaan bersalah.. Salahku karena tak bisa selalu di sisinya.. Salahku karena dia mabuk.. Salahku karena terlalu rapuh untuk menjaganya..

*

Jam 3 pagi.

Aku tak lagi menangis. Tidak juga merasa mengantuk. Atau nelangsa. Atau.. ah, aku tidak tahu lagi apa yang sebenarnya kurasakan sekarang...

Hampir 3 jam aku terduduk di pojok kamar. Diam, tak bergerak. Napasku satu-satu. Sebagian diriku takut membangunkannya.. karena mimpi buruk itu akan menjadi nyata. Sebagian lainnya ingin merangkulnya, membantunya melepas bebannya..

"Rei.."

Aku terperanjat. Kulirik lelaki itu.
Masih terlelap..

Bukankah cinta seharusnya mengalahkan semuanya?.. rasa takut jugakah?
Aku bangkit, berjalan mendekat. Apa yang sedang ia mimpikan dalam dunianya di sana? Apakah aku membawanya senyum di sana..?

Kubelai wajahnya. Kulonggarkan kemejanya. Kulepaskan sepatunya, dan kaus kakinya. Kulepaskan pula ikat pinggangnya.. Bagaimanapun, dia lelakiku...

Kuhela napas. Lalu lenguhannya menyapa telingaku. Aku menatapnya. Ia menggeliat, dan membuka mata. Mencari-cari sesuatu. Dan mendapati aku menatapnya.

Ia mengernyitkan keningnya. Mencoba mengumpulkan segenap kesadarannya yang terberai oleh alkohol.

Lima menit ia memenjamkan mata, memikirkan entah apa. Kemudian bangkit, dan keluar kamar. Tak lama, kudengar percikan air.

Hari itu, Sabtu pagi. Berpikir bahwa masih ada Minggu, aku tak tahu itulah Sabtu terakhir aku bersamanya.

Ketika ia memasuki kamarnya kembali, aku sudah meringkuk di sudut kamar. Ia menatapku. Sejenak, hanya bisu yang menari-nari di udara. Membuat rasanya demikian asing, demikian galau.

Aku tak tahu mesti bersuara apa. Mesti berkata apa. Aku bahkan tak berani menatapnya.

Ia duduk di tepi ranjang. Menatapku lekat-lekat. Matanya mencerminkan pedih yang teramat sangat.

"Maaf.."

Dan seketika, aku merasa wajahku panas. Mataku tersengat. Dadaku sesak.

Aku menangis lagi. Kali ini, kubenamkan wajahku ke dalam lengan yang memeluk lutut erat-erat. Aku tak sanggup membiarkannya melihatku menangis.

Ia menghela napas. Lalu beranjak, merengkuhku.

Aroma perpisahan itu telah berada di depan mata. Hanya aku yang terlalu buta untuk melihatnya....

 *
Aku merasa mengejang.

Seluruh duniaku hilang, tertelan dalam lubang hitam yang tak berdasar.
Semua yang pernah kurasakan, kuyakini, dan kudamba, lenyap tak berbekas. Hanya meninggalkan jejak-jejak pahit bernama luka, yang menggigit, dan menyadarkan aku, semua ini bukan mimpi. Semua ini pernah ada.

Tak butuh hitungan jam untuk mengakhiri apa yang pernah ada selama beberapa tahun. Dan menit-menit singkat itu, selanjutnyalah yang kubawa seumur hidupku. Bukan kenangan-kenangan itu.

Aku merasa mual.
Dadaku sesak. Sementara oksigen satu-satunya telah dirampas dariku.

Aku menangis. Dari balik tirai air mata, kulihat dia.

"Menangislah sepuasnya, supaya kelak, kau tak perlu menangis demi diriku ini.."

Kulihat matanya. Mata yang sekarang terasa asing. Terasa kian menerawang. Aku bukan bagian hidupnya lagi...

"Suatu saat, kau pasti akan mengerti..."

Aku bangkit. Meraih ranselku. Ia mencoba mencegahku.
"Tinggallah di sini. Besok kuantar kau ke stasiun.. aku yang pergi malam ini.."

Aku menggeleng lemah. Untuk apa, jika yang tersisa hanya sakit?

Mungkin itulah kali terakhir aku melihatnya.
Tetapi, sesungguhnya, dalam hatiku, dalam mimpiku, aku masih sering mendapatinya. Mendapatinya terdiam, tersenyum, dan hanya menatapku. Seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara kita. Seolah cinta itu tak pernah ada.

Tak ada salam perpisahan yang manis.
Tak ada kata-kata tanya yang terlontarkan.
Hanya ada diam. Diam yang membuat kami telah saling memahami.
Dan tubuh itu, yang pernah kupeluk, kuraba, kuciumi, kusentuh, dan kukenal, sekarang mendadak menolakku. Bahkan menolak memelukku. Menolak menyentuhku lagi..

Rasa itu hanya menemukan klimaksnya dalam kata 'MAAF' darinya. Hanya itu. Sesederhana itu.

Aku menangis. Lagi dan lagi.
Seolah dengan begitu, semua akan kembali seperti semula.
Tapi bermenit-menit, sampai napasku habis sekalipun, tak ada yang berubah.
Aku ingin berhenti menangis.
Aku membenci diriku sendiri yang menangis.
Tapi semakin aku ingin berhenti menangis, semakin kuat tangisanku.
Karena aku semakin tahu, aku tak berdaya..

Dan rasanya sesak. Sesak....

***
posted by Reis's at 04.57 0 comments

Sabtu, 06 Februari 2010

Act #21



Di tempat lain di Bali. Saat yang sama.

Kamar 2019. 

"Pak.."
"Pergilah.."

Pemuda itu melongo. Entah harus merasa terhina atau gembira. Belum pernah ia bertemu dengan klien yang menolak bercinta dengannya. Belum pernah ia bertemu dengan klien yang bersedia membayarkan sejumlah uang atas sesuatu yang belum dilakukannya.

Hot money. Siapa yang menolak? Pemuda itu kemudian pamitan, meninggalkan Heri dalam ruang kamarnya yang sepi. Heri menatap ke jendela kacanya. Mendapati awan yang berarak gagah. Mendapati langit yang putih pucat. Mendapati Kuta yang merentang indah..

Semuanya memang masih sama.

*
Ombak bergulung-gulung, kemudian memecah berderai. Seperti seorang bocah kecil yang tertawa riang. Sambil menyusuri sepanjang garis pantai, kurasakan air laut bergerak menghampiri kakiku, membasahinya, menyeret barangkali sedikit pasir, dan kemudian kembali pulang.

Kuterawang kaki langit yang menyatu dengan air laut di ujung sana. Matahari yang menyengat memaksaku menyipitkan mata. Aku masih selalu bertanya-tanya, ada apa gerangan di ujung sana?

Pantai Kuta begitu pikuk. Begitu ramai. Dan semua mengisyaratkan kegembiraan dunia yang seolah tak akan surut. Tak akan lekang dan karatan, meskipun didera oleh gelombang kesedihan dan kemalangan.

Apa itu bahagia?

Pertanyaan itu begitu mengusik. Dari dulu, sampai saat ini.

Apakah bahagia adalah ketika kita bertemu dengan seseorang yang kita cintai, menembus ruang dan waktu?

Aku teringat lagi pada Tomi. Aku begitu kangen padanya.

Tiga bulan lalu, di hari kelulusanku dari D3, ia mengatakan padaku kesempatan yang ditawarkan padanya. Ia memperoleh promosi, dan itu berarti ia harus dimutasikan ke Jakarta. Ke pusat perusahaannya. Ke pusat semua jenis kemungkinan.

Ia mengajakku ikut besertanya. Tapi aku tahu, dalam hatinya, dan dalam hatiku, kami sama-sama tak pernah siap untuk melangkah lebih jauh. Aku selalu terkesiap dengan kenyataan ini. Bahkan waktu tiga tahun - 1095 hari - tak sanggup memberi definisi hubungan kami...

Sejak itu, yang ada hanya SMS. Atau telepon. Kadang malah berhari-hari tak ada kabar darinya. Dan jarak di antara kami menciptakan banyak hal. Sering aku hanya harus menahan kekesalanku padanya, segudang pertanyaan-pertanyaan yang mengisyaratkan kecemburuanku, dan sentimentil kangenku. Karena aku tahu, waktu begitu berharga. Pulsa begitu berharga untuk disia-siakan dengan hal yang tak berguna semacam itu.

Dan, dalam lubuk hatiku, aku tak yakin berapa lama bisa membiarkan api itu tetap menyala...

Kuhela napas. Saat itu pula, kusadari aku telah berjalan sampai ke hotel itu. Seiris nostalgia lama kembali terkuak. Kamar 2019. Heri.

Mengapa menjadi seperti ini harus menyimpan begitu banyak lara?

*
 
Heri menatap Ngurah Rai untuk kesekian kalinya. Berharap pada keajaiban di detik-detik terakhir. Berharap bahwa entah bagaimana caranya, pria yang ditunggunya selama ini akan muncul, menepuk bahunya, dan menyapanya. Lalu ia akan mengejar ketertinggalannya. Menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tanpa akhir. Atau bahkan hanya duduk diam, di sisinya, dan memandang wajahnya.

If I still couldn't find you, I would move on.. Ia berbisik samar pada dirinya sendiri.

Ketika pesawat mengangkasa, Heri memenjamkan matanya erat-erat.
Kenapa kau mesti berlalu waktu itu?
Kenapa aku mesti mabuk?
Ada di mana kau sekarang?
Sudah berapa lelaki yang membayarmu untuk menjamahimu?


Hatinya tak rela. Hatinya marah. Hatinya cemburu.
Tetapi ia juga tak berdaya, selain mengucapkan sebaris kalimat itu.

Good bye, Reis.. 


***

posted by Reis's at 19.03 0 comments

Selasa, 03 Maret 2009

Act # 20




Apa artinya jarak dalam cinta?
Kesepiankah? Kesetiaankah?

*


Kutatap lekat-lekat wajah itu.

Ah, betapa inginnya aku menghambur ke pelukannya. Menciuminya. Mengatakan aku mencintainya. Menggenggam tangannya..

Tapi aku hanya membeku. Membisu. Dan tak berdaya.
Biarpun begitu banyak yang ingin kuutarakan. Begitu banyak doa yang ingin kusematkan.


Persetan! Aku benci ini semua...


Dari jendela gerbongnya, Tomi menatap diriku. Ekspresinya tawar dan datar.
Aku tak tahu bagaimana dengannya, tapi waktu itu, rasanya dunia telah berakhir..

*

Air mata itu menetes satu-satu. Tanpa tertahankan. Semakin ingin kutahan, semakin sesak dadaku. Kecuali papa, belum pernah aku menangisi lelaki manapun..

Aku bergegas ke kamar mandi.
Membasuh wajahku berkali-kali. Kurasakan dingin itu menyengat.

Tapi mataku masih tetap panas. Menyengat. Sedih yang tertunda itu meluap membanjiri pipiku.

Aku jatuh terduduk, berusaha mengambil napas, satu demi satu.


Inikah rasanya perpisahan?
posted by Reis's at 22.32 2 comments

Chapter 3 - Act #19




Kurasakan lengan kokoh itu menyusup, memelukku dari belakang. Dari ranjang besar, kulihat jendela yang masih tertutup gorden. Sinar matahari samar-samar membentuk siluet. Langit biru tak pernah bisa terlihat dari kost Tomi.
'Suatu hari nanti, aku berjanji, akan membangunkan istana untuk kita. Dari atas ranjang kita, kau akan bisa melihat langit yang baru. Dan aku, akan bisa melihat matahari menyinari wajahmu..' Kuremas jemari Tomi.

*


Kuhela napas. Rumah baru Reina memang sederhana. Dari kamar tamu yang kecil ini, melalui jendelanya aku bisa melihat pemandangan tepi pantai. Menyeretku kembali dalam nostalgia masa kecilku. Menyeretku kembali dalam genangan memori bersama Tomi.


Sedang apa kau sekarang?


*

'Jakarta?'
Tomi memalingkan wajahnya. 'Lalu..kita?' 'Tergantung padamu..' Dan saat itu, cinta seperti kehilangan kata-kata. Kehilangan makna. Seperti kopi pahit yang terlalu kental, sehingga berapapun sendok gula yang ditambahkan, si pahit tak akan berubah menjadi manis. 'Jangan menggantungkan keputusan padaku.' Tomi terperangah. Lalu menunduk. 'Kau..cinta padaku?'

*

Adakah penyesalan dalam cinta? Jika ada, masihkah perasaan itu bisa dilabeli sebagai cinta?
Aku sungguh tak mengerti. Dan mungkin tak akan pernah. Aku bangkit, dan duduk di tepi ranjang. Masih tak berniat keluar kamar. Kulirik jam di samping meja. Angka-angka digitalnya berkedip menunjukkan pukul sepuluh. Sudah siang. Tapi aku masih mengantuk. Insomnia itu begitu menyiksa....

*


Tomi masih diam.

Ah, memang benar. Cinta itu telah menguap pergi, hilang tanpa meninggalkan jejak.
Kopi itu bukan hanya pahit, tetapi juga telah mendingin. Kehilangan jejak bara panasnya...


'Aku tak keberatan mengenai masalah jarak..'
Kali ini, ia menengadah.
Matanya sayu menatapku. Lalu ia memelukku.

'Aku... lebih baik tak pergi..' bisiknya lirih.


Tanganku mengejang di udara. Tak sanggup membalas pelukannya.

'Karena aku?'

Kurasakan kepalanya bergerak mengangguk.
Jawaban yang salah..
Kudorong tubuhnya.
'Kau harus pergi.'

*

Adakah penyesalan dalam cinta..?
posted by Reis's at 22.25 0 comments

Act #18




Kutatap Reina. Lekat-lekat. Ah, ia cantik sekali. Matanya sedari tadi membulat, memancarkan binar-binar bahagia. Binar-binar yang kurindukan. Binar-binar yang tak pernah terlihat lagi 3 tahun terakhir ini...


Dalam balutan gaun putihnya yang sederhana, Reina mengingatkanku pada almarhumah mama. Sederhana dan klasik, tapi anggun dan memikat.

"Na...," bisikku samar, sebelum mengiringinya ke altar, "Kamu harus bahagia, ya.."

Ia menatapku. Lalu memelukku. Erat.
Aku mengusap punggungnya. Hari ini, adik kecilku itu akan menikah. Ma, Pa, kalian lihat tidak? Reina menikah hari ini...

Tapi, hari ini, bukannya waktunya bersedih. Hari ini waktunya bahagia. Kusimpan air mata sentimental ini.

"Ayo, Na.."

Diiringi langkahku, dan tatapan sanak-kerabat, teman-teman, dan pengantin pria, kami berjalan mendekati altar dan pastor.

Tatapanku menerawang, seiring pemberkatan yang dilakukan oleh pastor. Seiring sumpah setia kedua mempelai di depan altar..

Akankah ada hari ketika aku melakukan hal yang sama...?


Ketika kesetiaan dan komitmen menjadi pertanyaan, masih bisakah suatu hubungan berlanjut?
Ketika cinta dan nafsu sulit dibedakan, masih berartikah malam-malam yang intim?

Aku merasa gamang. Galau. Dan aku teringat lagi pada Tomi. Aroma perpisahan masih begitu lekat di mataku.

Akh..kuhalau semua sedih. Hari ini, aku harus turut berbahagia. Adikku satu-satunya menikah. Hari ini, bukan saatnya memainkan opera cengeng di dalam hati.

Reina menoleh padaku, usai pemberkatan dilakukan. Kuulas sebuah senyum.

Mulutnya menggumamkan sesuatu. Dan kali ini, aku mengangguk...

Bali, aku pulang menjengukmu...
posted by Reis's at 22.19 0 comments

Act #17




"Jadi, sudah berapa lama kenalan sama Chris?"
Tomi berhenti membelai punggungku. Terdiam. Membuatku menoleh padanya. "Dia adik kelasku, dulu pas di SMA." "Oh ya? Kenalnya di mana?" "Lewat situs gay-dating." "Oh.." "Kenapa?" "Heran aja." "Heran?" "Pernah pacaran ama dia?" "Bukan tipe." "Fisik?" "Salah satunya." Dia menciumi punggungku. Tengkukku. Membuatku kembali menerawang.

"Lalu? Kenapa aku?"
Ia kembali menghentikan aktivitasnya.
"Maksudmu?"
"Kenapa memilihku?"
"Aku mencintaimu."

Aku berbalik lagi. Mengubah posisi; duduk di hadapannya. Tomi ikut bangkit. Ia membelai wajahku.
"Aku cemburu."
Dia tersenyum. "Karena?"
"Dia tahu semua masa lalumu."
Senyum itu kian lebar.

"Ga juga. Tapi.. apa yang ingin kau tahu?"
Aku bersandar di bahunya. "Semuanya.."
Dan ia mulai bercerita, sampai aku terlelap..
posted by Reis's at 22.09 0 comments